By@Iwan Hermawan,S.PdI (Staf KUA Gunungkencana)
Mengingat banyak terjadinya kasus para wanita yang hamil diluar nikah
(wal 'iyyadzubillah) maka kami menganggap sangat penting untuk membahas
masalah ini dengan lebih terperinci dalam kajian Bab Nikah. Bagaimanakah
hukumnya pernikahan wanita yang dilaksanakan dalam keadaan hamil
itu?yaitu setelah hamil baru kedua orantuanya ''terpaksa'' menikahkannya
dan permasalahan lain yang semisalnya.Tentu jadi membuat ukhti muslimah
semakin penasaran ingin mengetahui penjelasannya.Nah, marilah kita
simak bersama,....!
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah
harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa
harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-'Alim Al-Hakim sebagai berikut :
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu , Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua , Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak
terjadi di zaman ini �Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga
kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.Adapun perempuan
hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas
'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan
sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
''Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya''. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah Haram dan nikahnya Batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
''Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya''. (QS. Al-Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini :
''Yaitu jangan kalian melakukan Akad
nikah sampai lepas 'iddah-nya''. Kemudian beliau berkata : ''Dan para
'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah''.
Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih
meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi
diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan Hidayah dari Allah Al-'Alim Al-Khabir,masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
1. Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak,
dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan
pendapat dikalangan para 'ulama.Secara global para 'ulama berbeda
pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan
perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat.
Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat.
Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan
disyaratkan untuk bertaubat.Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Al-Fatawa 32/109 :
''Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah
yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah
yang benar tanpa keraguan''. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah
'Azza Wa Jalla :''Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan
perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang
berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum
mu`minin''. (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata :
''Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang
dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan
(nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : ''Maka
saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu
saya berkata : ''Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?''. Martsad berkata :
''Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : ''Dan perempuan yang berzina
tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik''. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan
beliau berkata : ''Jangan kamu nikahi dia''. (Hadits hasan, riwayat Abu
Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra
3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.
1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih
Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan
pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau
ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan
pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala
alihi wa sallam :
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa
baginya''. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83
dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat
An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh
(terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini
(yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah
secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan
pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum
bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan
6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny
9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat
Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan :
Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat
perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia
menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh
Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas
dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125
kelihatan condong ke pendapat ini.Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny
9/564 berpendapat lain, beliau berkata : ''Tidak pantas bagi seorang
muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena
permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal
berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk
mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan
dalam merayunya untuk berzina ?''.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana
ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima
syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A'lam.
Syarat Kedua : Telah lepas 'iddah.
Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah merupakan
syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua
pendapat :
Pertama : Wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin
'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan
antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh
untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh
ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu
adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya
dan boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang
yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang
yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh
ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin)
dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut
dalamkeadaanhamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan
perang Authos :
''Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali''.
(HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212,
Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan
Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang
bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya
yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari
beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya
oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
''Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia
menyiramkan airnya ke tanaman orang lain''. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud
no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam
Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115,
Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa`
no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa
'ala alihi wa sallam : ''Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir
melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : ''Barangkali orang itu
ingin menggaulinya ?''. (Para sahabat) menjawab : ''Benar''. Maka
Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
''Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang
dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal
baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal
baginya''.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : ''Dalam (hadits) ini ada dalil yang
sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu
karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu
nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena
ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina''.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan
pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa
Saudi Arabia). Wallahu A'lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil
karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi
perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman
firman Allah 'Azza Wa Jalla :
''Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya''. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya
diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan
yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah
istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat :
tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak. Dan yang
dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup
dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan
oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan
'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi
perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam
firman Allah Jalla Sya`nuhu :
''Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri
(menunggu) selama tiga kali quru`(haid)''. (QS. Al-Baqarah : 228).
Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua
syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan
nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah sebagai berikut :
� kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan.
� kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid satu
kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197,
Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349,
Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa
32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan
Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah
2/582-585, 847-850.
Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil
karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai
melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah
adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap
melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya
tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap
pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau
negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : ''Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa 'iddah?''.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama. Jumhur
(kebanyakan) 'ulama berpendapat : ''Perempuan tersebut tidak diharamkan
baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya''.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa
perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau
berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang
menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga merupakan
pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat
bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir
ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau
melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu
Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan
pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah
kembali setelah lepas iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu
Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan
keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka
berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap berzina dan wajib
atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di
dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan
hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara
keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang
telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak
mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
''Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya
batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk
padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya,
dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak
mempunyai wali''.
(HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm
5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb
sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq
bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284,
Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.
1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu
Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175,
Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu
Ya'la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam
Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy
7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam
Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu
'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no.1840).
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di
masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam
hadits mencakup semuanya.Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia
melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman
firman Allah Ta'ala :
''Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan'' (QS. An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
''Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban''.(QS.An-Nisa` : 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.
2 komentar:
ijin sedot min,..makasih
Assalamualaikum wr wb,,ijin bertanya,saat ini sy sudah menikah dengan seorang janda secara agama setahun yg lalu,alasan kami menikah secara agama yaitu a.l : karena sy terkendala dlm proses gugat cerai dgn mantan istri dgn berbagai kendala,tp sy sudah berpisah selama 4 tahun,,yg jd pertanyaan ,sekarang istri sy hamil 3 bulan,dan tiba2 keluarga nya ingin dinikahkan secara negara ,,pertanyaan sy : apakah boleh seorang perempuan yg sedang hamil dengan status nikah agama dinikahkan kembali secara negara ?? Trims banyak
Posting Komentar